Oleh: Wawan Oat, SE, MM
MALUKU adalah satu dari 34 Provinsi di Indonesia. Letak Maluku di wilayah timur Indonesia membuat Maluku cenderung mengalami 'Ketertinggalan' dari aspek pembangunan dibanding daerah-daerah di bagian barat Indonesia. Maluku terdiri dari 9 Kabupaten dan 2 Kota, 118 Kecamatan, dengan jumlah penduduk sampai tahun 2016 sebanyak 1.715.548 jiwa.
Jumlah jiwa yang relatif tidak begitu banyak dibanding Provinsi lain di bagian barat Indonesia, mestinya tingkat kemiskinan, pengangguran, pendapatan / kapita, dapat diperbaiki sesuai kemampuan anggaran daerah dan konstruksi ekonomi Maluku.
Ekonomi Maluku pada tahun 2015 tumbuh sebesar 5,44 %, dan pada tahun 2016 tumbuh sebesar 5,76 %, capaian pertumbuhan ekonomi Maluku diatas pertumbuhan ekonomi Nasional. Namun apakah dengan kondisi ekonomi yang tumbuh melampaui ekonomi Nasional juga berimplikasi terhadap kondisi-kondisi riil yang lain?
Selain itu, realisasi impor Maluku pada bulan Januari 2017 naik menjadi 14,20 % dari bulan sebelumnya, dimana impor Maluku masih didominasi oleh sektor migas, Sedangkan ekspor Maluku turun menjadi 98,72 % dari bulan sebelumnya, dan didominir oleh sektor non migas. Angka gini ratio Maluku sebesar 0,35. Inflasi Maluku pada triwulan ke-IV tahun 2016 sebesar 3,26 %.
Dari capaian pertumbuhan ekonomi Maluku, angka gini ratio dan inflasi yang relatif terkendali, belum berimplikasi langsung terhadap tingkat kemiskinan di Maluku, dimana jumlah penduduk miskin di Maluku masih tinggi pada tahun 2016 sebanyak 331,79 Ribu jiwa, atau sebesar 19,26 % dengan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 3,76 % dan indeks keparahan kemiskinan sebesar 1,13 %. Data ini menunjukan bahwa Maluku berada pada posisi 4 dari bawah Provinsi dengan tingkat kemiskinan tinggi di Indonesia.
Laju pertumbuhan PDRB Maluku pada triwulan ke-IV tahun 2016 sebesar 3,49 %, dari sisi pengeluaran didominasi oleh belanja pemerintah sebesar 9,19 % dan dari sisi produksi didominasi oleh perdagangan besar - eceran dan reparasi mobil - sepeda motor sebesar 7,40 %. Selain itu, belanja pemerintah pusat di Maluku melalui APBN-P tahun 2016 sebesar Rp 7,92 Trilliun, dan realisasinya hanya mencapai 88,48 %, atau sekitar Rp 6,84 Trilliun.
Postur APBD-P Maluku tahun 2016 sebesar Rp 2,55 Trilliun, dengan proporsi dana transfer pusat ke Maluku sebesar Rp 2,04 Trilliun atau berkisar 80,1 % dari total APBD-P, sedangkan pendapatan asli daerah (PAD) Maluku sebesar Rp 469,28 Milliar, hanya 18,4 % dari total APBD-P, dengan realisasi belanja sebesar Rp 2,57 Trilliun.
Dengan gambaran proporsi postur APBD-P Maluku Tahun 2016 masih terlihat ketergantungan Maluku terhadap pemerintah pusat, hal ini yang mesti diseriusi oleh pemerintah provinsi Maluku dengan menggenjot ekonomi lokal melalui pemberdayaan sektor riil serta pemetaan kawasaan berbasis keunggulan untuk melihat potensi ekonomi Maluku.
Disamping itu, peran lembaga keuangan untuk meningkatkan ekonomi Maluku belum begitu massif, lembaga keuangan khususnya bank-bank umum di Maluku masih didominasi oleh penerimaan dana privat serta pembiayaan dan penyaluran kredit ke sektor konsumtif. Lembaga keuangan seperti bank belum dimanfaatkan secara baik untuk pembiayaan investasi atau ke sektor riil, baik produksi maupun niaga. Tahun 2016 menunjukkan bahwa total dana pihak ketiga (DPK) pada bank-bank umum di Maluku sebesar Rp 9,1 Trilliun atau mencapai 71,74 % dari total DPK, sedangkan kredit masih didominasi oleh kredit rumah tangga sebesar Rp 5,71 Trilliun atau berkisar 57,27 % dari total penyaluran kredit.
Kondisi ekonomi Maluku tahun 2016 menjadi proyeksi gambaran ekonomi Maluku tahun 2017. Ekonomi pada tahun sebelumnya menjadi tahun dasar dan rujukan disamping fakta fundamental ekonomi pada tahun berjalan. Namun apakah ekonomi Maluku tahun 2017 secara teknis menunjukkan kondisi ekonomi Maluku yang sebenarnya?
Data-data yang dirilis terkesan menunjukkan fakta yang paradoksal, penyajian data yang tidak faktual, serta data-data yang tidak integratif antar lembaga.
Diketahui pertumbuhan ekonomi terbesar di Maluku disumbang oleh sektor jasa keuangan dan asuransi sebesar 9,22 %, pengadaan listrik dan gas sebesar 8,35 %, jasa pendidikan sebesar 7,97 %, dimana ketiga sektor tersebut sebagai kontributor dominan pada PDRB Maluku, bukanlah sektor unggulan di Maluku. Apakah kebijakan regulator daerah yang tidak memprioritaskan sektor perikanan dan kelautan? Ataukah telah terjadi konversi konstruksi industri di Maluku, dari bebasis maritim (kelautan - perikanan) ke industri jasa?
Kajian dan penelitian yang dilakukan untuk menentukan kategori-kategori potensi ekonomi di Maluku pun terlihat tidak linier antar masing-masing formula yang digunakan. Seperti dilansir oleh BPS Maluku, dengan menggunakan analisis location quotient diketahui industri pengolahan di Maluku tidak potensial untuk dikembangkan, sedangkan jika menggunakan analisis model rasio pertumbuhan (MRP), industri pengolahan sangat potensial untuk dikembangkan di Maluku. Ini menunjukkan fakta yang paradoksal jika dilakukan kajian pemetaan untuk mengetahui keunggulan potensi ekonomi di Maluku.
Selain itu, dari 17 kategori potensi ekonomi, hanya 8 kategori yang potensial dikembangkan di Maluku secara kompetitif, yakni kategori pengadaan air, pengolahan sampah dan daur ulang, kategori administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib, kategori jasa kesehatan dan kegiatan sosial, serta kategori pertanian, kehutanan dan perikanan. Terlihat bahwa sektor perikanan bukanlah sektor unggulan dan utama di Maluku, karena berada pada urutan 4 kategori potensi ekonomi unggulan di Maluku. Hal ini cenderung tidak faktual dengan kondisi Maluku sebagai wilayah kepulauan serta daerah dengan dominasi laut.
Maluku juga belum dapat ditetapkan sebagai kawasan basic activities, karena industri di Maluku masih melayani local industry atau kebutuhan lokal, sehingga Maluku masih dalam tarah basic activities secara ekonomi. Aktivitas ekspor di Maluku akan meningkat jika memiliki keunggulan kompetitif sehingga dapat berdaya saing secara nasional, selain juga mesti memiliki keunggulan komparatif.
Pemetaan sektor unggulan di Maluku mesti dilakukan secara cermat dan faktual, baik dengan melihat kontribusi tiap kategori terhadap PDRB, pertambahan aktivitas di tiap sektor akibat suatu kebijakan, serta dengan mengetahui proportional shift dan differential shift.
Keadaan ekonomi Maluku tidak dapat dilepas pisahkan dari kondisi ekonomi nasional, dimana pengaruh kebijakan nasional terhadap pertumbuhan ekonomi Maluku sebesar 66,88 %, serta pengaruh struktur pertumbuhan ekonomi nasional dalam melemahkan ekonomi Maluku hanya sebesar 0,18 %.
Untuk tahun 2017 Ekonomi Maluku diproyeksikan tumbuh pada kisaran 5,94 - 6,34 %, sedangkan inflasi diproyeksikan ada pada kisaran 4,2 - 4,6 %. Pertumbuhan ekonomi Maluku tahun 2017 akan dikuatkan melalui sektor pertanian dan perikanan sebagai sektor primer yang mulai membaik, walaupun investasi belum begitu optimal, serta terbatasnya kenaikan anggaran belanja, baik pada APBN maupun APBD.
Ekonomi Maluku mesti dilihat secara integral dalam suatu wilayah kepulauan, pengembangan ketegorial ekonomi mesti sesuai corak wilayah kelautan - perikanan, mesti ada policy yang tidak hanya mengatur tapi juga menggenjot sektor unggulan, sehingga ekonomi Maluku tidak 'liar', dibiarkan bergerak sendiri sesuai kehendak industri, dan keinginan pelaku pasar, karena pertumbuhan ekonomi mesti linier dengan pertumbuhan di sektor riil dan peningkatan pendapatan / kapita.
Sederhananya, ekonomi Maluku mesti berbasis keunggulan komparatif yang di support oleh industri UMKM sesuai kategori wilayah kepulauan, jika dikuatkan akan berdaya saing secara kompetitif, tidak hanya dalam lingkup regional - nasional, tapi bahkan internasional, tergantung bagaimana regulator bertindak.
Penulis adalah ALUMNUS PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS GUNADARMA
MALUKU adalah satu dari 34 Provinsi di Indonesia. Letak Maluku di wilayah timur Indonesia membuat Maluku cenderung mengalami 'Ketertinggalan' dari aspek pembangunan dibanding daerah-daerah di bagian barat Indonesia. Maluku terdiri dari 9 Kabupaten dan 2 Kota, 118 Kecamatan, dengan jumlah penduduk sampai tahun 2016 sebanyak 1.715.548 jiwa.
Jumlah jiwa yang relatif tidak begitu banyak dibanding Provinsi lain di bagian barat Indonesia, mestinya tingkat kemiskinan, pengangguran, pendapatan / kapita, dapat diperbaiki sesuai kemampuan anggaran daerah dan konstruksi ekonomi Maluku.
Ekonomi Maluku pada tahun 2015 tumbuh sebesar 5,44 %, dan pada tahun 2016 tumbuh sebesar 5,76 %, capaian pertumbuhan ekonomi Maluku diatas pertumbuhan ekonomi Nasional. Namun apakah dengan kondisi ekonomi yang tumbuh melampaui ekonomi Nasional juga berimplikasi terhadap kondisi-kondisi riil yang lain?
Selain itu, realisasi impor Maluku pada bulan Januari 2017 naik menjadi 14,20 % dari bulan sebelumnya, dimana impor Maluku masih didominasi oleh sektor migas, Sedangkan ekspor Maluku turun menjadi 98,72 % dari bulan sebelumnya, dan didominir oleh sektor non migas. Angka gini ratio Maluku sebesar 0,35. Inflasi Maluku pada triwulan ke-IV tahun 2016 sebesar 3,26 %.
Dari capaian pertumbuhan ekonomi Maluku, angka gini ratio dan inflasi yang relatif terkendali, belum berimplikasi langsung terhadap tingkat kemiskinan di Maluku, dimana jumlah penduduk miskin di Maluku masih tinggi pada tahun 2016 sebanyak 331,79 Ribu jiwa, atau sebesar 19,26 % dengan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 3,76 % dan indeks keparahan kemiskinan sebesar 1,13 %. Data ini menunjukan bahwa Maluku berada pada posisi 4 dari bawah Provinsi dengan tingkat kemiskinan tinggi di Indonesia.
Laju pertumbuhan PDRB Maluku pada triwulan ke-IV tahun 2016 sebesar 3,49 %, dari sisi pengeluaran didominasi oleh belanja pemerintah sebesar 9,19 % dan dari sisi produksi didominasi oleh perdagangan besar - eceran dan reparasi mobil - sepeda motor sebesar 7,40 %. Selain itu, belanja pemerintah pusat di Maluku melalui APBN-P tahun 2016 sebesar Rp 7,92 Trilliun, dan realisasinya hanya mencapai 88,48 %, atau sekitar Rp 6,84 Trilliun.
Postur APBD-P Maluku tahun 2016 sebesar Rp 2,55 Trilliun, dengan proporsi dana transfer pusat ke Maluku sebesar Rp 2,04 Trilliun atau berkisar 80,1 % dari total APBD-P, sedangkan pendapatan asli daerah (PAD) Maluku sebesar Rp 469,28 Milliar, hanya 18,4 % dari total APBD-P, dengan realisasi belanja sebesar Rp 2,57 Trilliun.
Dengan gambaran proporsi postur APBD-P Maluku Tahun 2016 masih terlihat ketergantungan Maluku terhadap pemerintah pusat, hal ini yang mesti diseriusi oleh pemerintah provinsi Maluku dengan menggenjot ekonomi lokal melalui pemberdayaan sektor riil serta pemetaan kawasaan berbasis keunggulan untuk melihat potensi ekonomi Maluku.
Disamping itu, peran lembaga keuangan untuk meningkatkan ekonomi Maluku belum begitu massif, lembaga keuangan khususnya bank-bank umum di Maluku masih didominasi oleh penerimaan dana privat serta pembiayaan dan penyaluran kredit ke sektor konsumtif. Lembaga keuangan seperti bank belum dimanfaatkan secara baik untuk pembiayaan investasi atau ke sektor riil, baik produksi maupun niaga. Tahun 2016 menunjukkan bahwa total dana pihak ketiga (DPK) pada bank-bank umum di Maluku sebesar Rp 9,1 Trilliun atau mencapai 71,74 % dari total DPK, sedangkan kredit masih didominasi oleh kredit rumah tangga sebesar Rp 5,71 Trilliun atau berkisar 57,27 % dari total penyaluran kredit.
Kondisi ekonomi Maluku tahun 2016 menjadi proyeksi gambaran ekonomi Maluku tahun 2017. Ekonomi pada tahun sebelumnya menjadi tahun dasar dan rujukan disamping fakta fundamental ekonomi pada tahun berjalan. Namun apakah ekonomi Maluku tahun 2017 secara teknis menunjukkan kondisi ekonomi Maluku yang sebenarnya?
Data-data yang dirilis terkesan menunjukkan fakta yang paradoksal, penyajian data yang tidak faktual, serta data-data yang tidak integratif antar lembaga.
Diketahui pertumbuhan ekonomi terbesar di Maluku disumbang oleh sektor jasa keuangan dan asuransi sebesar 9,22 %, pengadaan listrik dan gas sebesar 8,35 %, jasa pendidikan sebesar 7,97 %, dimana ketiga sektor tersebut sebagai kontributor dominan pada PDRB Maluku, bukanlah sektor unggulan di Maluku. Apakah kebijakan regulator daerah yang tidak memprioritaskan sektor perikanan dan kelautan? Ataukah telah terjadi konversi konstruksi industri di Maluku, dari bebasis maritim (kelautan - perikanan) ke industri jasa?
Kajian dan penelitian yang dilakukan untuk menentukan kategori-kategori potensi ekonomi di Maluku pun terlihat tidak linier antar masing-masing formula yang digunakan. Seperti dilansir oleh BPS Maluku, dengan menggunakan analisis location quotient diketahui industri pengolahan di Maluku tidak potensial untuk dikembangkan, sedangkan jika menggunakan analisis model rasio pertumbuhan (MRP), industri pengolahan sangat potensial untuk dikembangkan di Maluku. Ini menunjukkan fakta yang paradoksal jika dilakukan kajian pemetaan untuk mengetahui keunggulan potensi ekonomi di Maluku.
Selain itu, dari 17 kategori potensi ekonomi, hanya 8 kategori yang potensial dikembangkan di Maluku secara kompetitif, yakni kategori pengadaan air, pengolahan sampah dan daur ulang, kategori administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib, kategori jasa kesehatan dan kegiatan sosial, serta kategori pertanian, kehutanan dan perikanan. Terlihat bahwa sektor perikanan bukanlah sektor unggulan dan utama di Maluku, karena berada pada urutan 4 kategori potensi ekonomi unggulan di Maluku. Hal ini cenderung tidak faktual dengan kondisi Maluku sebagai wilayah kepulauan serta daerah dengan dominasi laut.
Maluku juga belum dapat ditetapkan sebagai kawasan basic activities, karena industri di Maluku masih melayani local industry atau kebutuhan lokal, sehingga Maluku masih dalam tarah basic activities secara ekonomi. Aktivitas ekspor di Maluku akan meningkat jika memiliki keunggulan kompetitif sehingga dapat berdaya saing secara nasional, selain juga mesti memiliki keunggulan komparatif.
Pemetaan sektor unggulan di Maluku mesti dilakukan secara cermat dan faktual, baik dengan melihat kontribusi tiap kategori terhadap PDRB, pertambahan aktivitas di tiap sektor akibat suatu kebijakan, serta dengan mengetahui proportional shift dan differential shift.
Keadaan ekonomi Maluku tidak dapat dilepas pisahkan dari kondisi ekonomi nasional, dimana pengaruh kebijakan nasional terhadap pertumbuhan ekonomi Maluku sebesar 66,88 %, serta pengaruh struktur pertumbuhan ekonomi nasional dalam melemahkan ekonomi Maluku hanya sebesar 0,18 %.
Untuk tahun 2017 Ekonomi Maluku diproyeksikan tumbuh pada kisaran 5,94 - 6,34 %, sedangkan inflasi diproyeksikan ada pada kisaran 4,2 - 4,6 %. Pertumbuhan ekonomi Maluku tahun 2017 akan dikuatkan melalui sektor pertanian dan perikanan sebagai sektor primer yang mulai membaik, walaupun investasi belum begitu optimal, serta terbatasnya kenaikan anggaran belanja, baik pada APBN maupun APBD.
Ekonomi Maluku mesti dilihat secara integral dalam suatu wilayah kepulauan, pengembangan ketegorial ekonomi mesti sesuai corak wilayah kelautan - perikanan, mesti ada policy yang tidak hanya mengatur tapi juga menggenjot sektor unggulan, sehingga ekonomi Maluku tidak 'liar', dibiarkan bergerak sendiri sesuai kehendak industri, dan keinginan pelaku pasar, karena pertumbuhan ekonomi mesti linier dengan pertumbuhan di sektor riil dan peningkatan pendapatan / kapita.
Sederhananya, ekonomi Maluku mesti berbasis keunggulan komparatif yang di support oleh industri UMKM sesuai kategori wilayah kepulauan, jika dikuatkan akan berdaya saing secara kompetitif, tidak hanya dalam lingkup regional - nasional, tapi bahkan internasional, tergantung bagaimana regulator bertindak.
Penulis adalah ALUMNUS PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS GUNADARMA