Alumni FH UKSW Adakan Diskusi Online Soal Restorative Justice

Diskusi Alumni FH UKSW tentang Restorative Justice pada Jumat (29/5/2020)

Jakarta, Info Breaking News - Berawal dari perbincangan santai dalam grup whatsapp, membuat para alumni Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (FH UKSW) mengadakan diskusi via zoom dengan topik "Restorative Justice; Perspektif Hukum Pidana". Acara yang diberi judul Ngobrol Sersan Guyub Alumni ini diselenggarakan Jumat (29/5/2020). Bertindak sebagai pemantik diskusi kali ini adalah Kepala Kejaksaan Negeri Yogyakarta Umbu Woleka dan advokat Nimerodi Gulo.

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

"Seiring dengan perkembangam ilmu hukum pidana, teori-teori pemidanaan yang dimulai dengan teori absolut, bergeser ke teori Relatif dan kemudian teori gabungan. Terlihat bahwa prinsip ultimum remidium lama kelamaan semakin diperhatikan, bahkan teori yang terakhir yang begitu berkembang di berbagai negara saat ini, sering dikenal sebagai teori kontemporer, turut mewarnai dan mendorong dikembalikannya prinsip ultimum remidium dalam penanganan suatu tindak pidana. Dalam teori kontemporer, salah satu aspek yang sangat menonjol adalah penyelesaian perkara pidana dengan model restorative justice." ujar Nimerodi Gulo.

Di Indonesia, teori ini sudah mulai diadopsi walau dengan malu-malu dan tidak sepenuh hati karena hanya berlaku bagi kejahatan tertentu misalnya model diversi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Begitu juga dalam RKUHP yang sedang digodok lagi di DPR, khususnya Pasal 132 yang memberikan peluang hapusnya penuntutan jika diselesaikan dengan musyawarah mufakat, akan tetapi dibatasi pada perkara yang ancaman pidana dendanya kategori III dan yang ancaman pidana dendanya kategori IV serta ancaman pidana penjaranya tidak lebih 1 tahun. Arahan kepada anggota penyidik untuk dapat menyelesaikan perkara pidana secara musyawarah mufakat juga pernah dikeluarkan oleh Kapolri Tito Karnavian melalui Perkap Nomor 6 tahun 2019.

"Pengecualian terhadap penyelesian restorative justice ini hanya berlaku bagi kejahatan yang masuk dalam kategori extra ordinary crime (pelanggaran HAM Berat)," imbuh Nimerodi.

Sementara itu, dalam penerapan hukum pidana perlu peran serta masyarakat, sehingga penegakan hukum tidak hanya bertumpu pada aparat penegak hukum. "Sanksi pidana dalam berbagai UU lebih banyak mengatur sanksi pidana penjara. Oleh karena itu perlu ada pembaharuan hukum pidana yang mengatur peran serta masyarakat dan bentuk sanksi baru yang mencerminkan perlindungan harkat martabat manusia oleh karena bangsa Indonesia telah menyatakan diri sebagai Manusia yang Beradab.  Pembaharuan hukum pidana haruslah berpedoman pada Pancasila sebagai falsafah negara dan sumber hukum," ujar Umbu Woleka.

Umbu mengatakan lebih lanjut, misalnya untuk kasus narkotika, pemakai tidak seharusnya dipidana penjara. "Kalau mereka dinyatakan positif sebagai pemakai, maka seharusnya direhabilitasi. Namun kita juga perlu memperhatikan jumlah barang bukti yang ada," katanya.

Banyak pemikiran dan gagasan yang muncul dalam diskusi ini. Ada yang mengatakan bahwa restorative justice harus didukung dengan integritas dan penguasaan permasalahan secara "holistik" yakni hukum, sosial, ekonomi dan juga psikologis. Selain itu restorative justice juga perlu memperhatikan local wisdom/hukum adat yang hidup di masyarakat. ***Vincent Suriadinata




Subscribe to receive free email updates: